10 Juli 2025 – DPR dan Pemerintah sepakat menerapkan mekanisme restorative justice presiden untuk kasus penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Kesepakatan ini dicapai dalam pembahasan lanjutan revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di DPR.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, mengatakan mekanisme restorative justice bertujuan membuka peluang dialog antara pelaku penghinaan dan pihak yang merasa dirugikan, yakni Presiden atau Wakil Presiden. Ia menambahkan pendekatan ini diambil sebagai langkah antisipasi meredam ketegangan politik yang kerap muncul akibat kasus pidana terkait penghinaan kepala negara.
Namun, keputusan tersebut mendapatkan tanggapan beragam di masyarakat. Para pendukung menilai pendekatan ini efektif untuk menjaga kondusivitas politik nasional. Di sisi lain, sejumlah pihak mengkritik kebijakan ini sebagai bentuk pelemahan hukum karena dinilai dapat mengurangi efek jera terhadap pelaku penghinaan.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy Hiariej, menegaskan bahwa implementasi restorative justice akan disusun secara hati-hati agar tidak merugikan kedua pihak. Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Dr. Eva Achjani Zulfa, menilai langkah tersebut positif selama diterapkan secara terbuka dan tanpa diskriminasi.
Revisi RUU KUHP ditargetkan rampung dan dapat disahkan pada akhir tahun 2025.